ULAMA WAHABI MEMAKAI HADITS POLITIK SEBAGAI HUJJAH LARANGAN ISTIGHOTSAH

ISTIGHOTSAH WAHABI 2

Ikhwan fillah rohimakumulloh…….

Dalam kitab digital “Mausu’at Fatawa al-Lajnah wa al-Imamain” karya dua imam besar wahabi salafi yaitu Abdul Aziz bin Baz dan Muhammad bin Sholih al-Utsaimin dalam bab “Istighotsah (memohon pertolongan) dan berdo’a dengan selain Alloh” disana dijelaskan dengan panjang lebar tentangnya. Namun ada yang perlu sy kritisi disini mengenai jawaban dari ulama kondang wahabi tersebut terkait hujjah yang dikemukakannya yaitu hadits dari Hudzaifah al-Yamani yang sesungguhnya itu hadits tentang POLITIK digunakan untuk masalah LARANGAN ISTIGHOTSAH. Adapun haditsnya sbb :

عن حذيفة بن اليمان رضي الله عنه قال : كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ ، مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي . فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ ، فَجَآءَنَا اللهُ بِهَذَا الْخَيْرِ ، فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ : نَعَمْ . قُلْتُ : وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالَ : نَعَمْ ، وَفِيْهِ دُخَنٌ . قُلْتُ : وَمَا دُخَنُهُ ؟ قَالَ : قَوْمٌ يَهْدُوْنَ بِغَيْرِ هَدْيِي ، تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ . قُلْتُ : فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا . قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا . فَقَالَ : هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا . قُلْتُ : فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ ؟ قَالَ : تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ . قُلْتُ : فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ ؟ قَالَ : فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا ، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ ، حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ ، وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ ! رواه البخاري و مسلم .

“Hudzaifah bin al-Yaman ra berkata: “Orang-orang sama bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan, dan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena khawatir menjumpaiku. Aku berkata: “Ya Rasulullah, dulu kami hidup dalam kejahiliahan dan keburukan, lalu Allah memberikan kebaikan kepada kami, apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?”. Beliau bersabda: “Ya !”. Aku berkata: “Apakah setelah keburukan itu ada kebaikan?”. Beliau bersabda: “Ya, tetapi ada dakhonnya”. Aku berkata: “Apa dakhonnya?”. Beliau menjawab: “Kaum yang memberi petunjuk, tidak dengan petunjukku, kamu mengenal mereka dan mengingkarinya!”. Aku bertanya: “Apakah setelah kebaikan itu akan ada keburukan?”. Beliau bersabda: “Ya, yaitu orang-orang yang menyeru di pintu-pintu Jahannam, siapa saja orang yang menerima seruan mereka, maka mereka melemparkannya ke Jahannam!”. Aku berkata: “Tunjukilah kami karakter mereka”. Lalu beliau bersabda: “Kulit mereka sama dengan kulit kita, dan mereka juga berbicara dengan bahasa kita!”. Aku berkata: “Lalu apa yang engkau perintahkan kepadaku ketika keburukan itu menjumpaiku?”. Beliau bersabda: “Kamu harus mengikuti Jama’ah kaum Muslim serta Imam mereka!”. Aku bertanya: “Lalu apabila mereka tidak memiliki Jama’ah dan tidak pula memiliki Imam?”. Beliau bersabda: “Tinggalkanlah semua firqoh-firqoh (kelompok yang menyeru ke pintu-pintu Jahannam) itu, meskipun kamu harus menggigit (memakan) akar pohon, sampai ajal menjemputmu dan kamu tetap seperti itu!”. HR Bukhari [7084] dan Muslim [4890].

RENTETAN KRONOLOGI HADITS  

Dan untuk memudahkan pemahaman terhadap makna hadits, perlu saya kemukakandelapan rentetan kronologi serta pendapat ulama terkait maksudnya, sebagai berikut:

Pertama, Hudzaifah bin al-Yaman ra berkata: “Orang-orang sama bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan, dan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena khawatir menjumpaiku”.

Kedua, Aku berkata: “Ya Rasulullah, dulu kami hidup dalam kejahiliahan dan keburukan, lalu Allah memberikan kebaikan kepada kami, apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?”. Beliau bersabda: “Ya !”.

Maksud perkataan Hudzaifah, “dulu kami hidup dalam kejahiliahan dan keburukan”, ialah kekufuran sebelum Islam, saling membunuh dan saling merampok di antara manusia, dan mengerjakan berbagai perbuatan keji dan hina. (Ibnu Hajar, Fath al-Bari, 20/89).

Maksud perkataan Hudzaifah,  “lalu Allah memberikan kebaikan kepada kami”, yakni kebaikan iman, aman, tentram, dan menjauhi berbagai perbuatan keji dan hina. (ibid).

Maksud perkataan Hudzaifah, “apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?”, yakni keburukan berupa fitnah yang terjadi setelah terbunuhnya ‘Utsman bin Affan dan seterusnya.

Ketiga, Aku berkata: “Apakah setelah keburukan itu ada kebaikan?”. Beliau bersabda: “Ya, tetapi ada dakhonnya”.

Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya, tetapi ada dakhonnya”. Dakhon adalah dendam (al-hiqd), atau rusaknya hati (fasad fi al-qalb). Maksudnya, kebaikan yang datang setelah keburukan itu bukan kebaikan murni, tetapi mengandung keruh. Atau yang dimaksud dengan dakhon adalah dukhon (asap) yang berarti keruhnya kondisi. Atau dakhon berarti setiap perkara yang dibenci. Atau sesuatu yang terjadi pada masa khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz. Atau persatuan yang terjadi antara Ali dan Muawiyah. (ibid).

Keempat, Aku berkata: “Apa dakhonnya?”. Beliau menjawab: “Kaum yang memberi petunjuk, tidak dengan petunjukku, kamu mengenal mereka dan mengingkarinya!”.

Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kaum yang memberi petunjuk, tidak dengan petunjukku”. Dalam riwayat Abul Aswad, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

” يَكُون بَعْدِي أَئِمَّة يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي ” .

“Setelahku akan ada para imam yang mengikuti petunjukku, tetapi tidak mengikuti sunnahku”. (ibid).

Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “kamu mengenal mereka dan mengingkarinya!”. Yakni mengenal dan mengingkari amal perbuatan mereka. Dalam riwayat Imam Muslim, dari Ummu Salamah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

” فَمَنْ أَنْكَرَ بَرِئَ وَمَنْ كَرِهَ سَلِمَ ” .

“Barang siapa yang mengingkari (perbuatannya), maka ia bebas, dan barang siapa yang membenci (perbuatannya), maka ia selamat”.

Atau yang dimaksud dengan mereka adalah para khalifah setelah Umar bin Abdul Aziz. Karena diantara mereka ada khalifah yang berpegang teguh dengan sunnah dan berlaku adil, dan ada khalifah yang menyeru kepada bid’ah dan berlaku zalim. (ibid).

Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Kebaikan setelah keburukan, adalah perkara yang terjadi pada masa Umar bin Abdul Aziz. Sedang perkara yang dikenal dan diinkari dari mereka adalah para umara setelah Umar bin Abdul Aziz, karena diantara mereka ada amir yang menyeru kepada bid’ah atau dhalal seperti kelompok Khawarij dan yang lainnya”. (‘Umdah al-Qori Syarh Shahih al-Bukhari, 24/166).

Al-Karmani berkata: “Ada kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan keburukan pertama adalah kejadian pada masa Utsman ra, yang dimaksud dengan kebaikan setelahnya adalah kejadian pada masa khilafah Ali ra, yang dimaksud dengan dakhon adalah kelompok Khawarij, dan yang dimaksud dengan keburukan setelahnya adalah orang-orang yang melaknat Ali ra di atas minbar-minbar”. (Umdah al-Qori, 24/194).

Kelima, Aku bertanya: “Apakah setelah kebaikan itu akan ada keburukan?”. Beliau bersabda: “Ya, yaitu orang-orang yang menyeru kepada pintu-pintu Jahannam, siapa saja orang yang menerima seruan mereka, maka mereka melemparkannya ke Jahannam!”.

Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “orang-orang yang menyeru kepada pintu-pintu Jahannam”. Yakni menyeru kepada selain haqq, sehingga akibatnya akan kembali ke neraka Jahanam, sebagaimana dikatakan kepada orang yang menyuruh mengerjakan perkara haram, ia berdiri di tepi Jahannam. Atau orang-orang yang menuntut kekuasaan, dari kelompok Khawarij dll. (Ibnu Hajar, Fath al-Bari, 20/89).

Keenam, Aku berkata: “Tunjukilah kami karakter mereka”. Lalu beliau bersabda: “Kulit mereka sama dengan kulit kita, dan mereka juga berbicara dengan bahasa kita!”.

Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kulit mereka sama dengan kulit kita, dan mereka juga berbicara dengan bahasa kita!”. Yakni, mereka itu dari golongan kita, dan dari bahasa dan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka itu dari orang Arab. Yakni lahir mereka mengikuti agama kita, sedang bathin mereka menyalahi agama kita. Dalam riwayat Abul Aswad, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

” فِيهِمْ رِجَال قُلُوبهمْ قُلُوب الشَّيَاطِين فِي جُثْمَان إِنْس ”

“Pada mereka ada laki-laki yang hatinya hati syetan, sedang tubuhnya tubuh manusia”. (ibid).

Ketujuh, Aku berkata: “Lalu apa yang engkau perintahkan kepadaku ketika keburukan itu menjumpaiku?”. Beliau bersabda: “Kamu harus mengikuti Jama’ah kaum Muslim serta Imam mereka!”.

Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kamu harus mengikuti Jama’ah kaum Muslim serta Imam mereka!”. Dalam riwayat Abul Aswad ada tambahan:

” تَسْمَع وَتُطِيع وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَك وَأَخَذَ مَالَك ”

“Kamu mendengar dan taat, meskipun imam memukul pundakmu dan mengambil hartamu”. Juga dalam riwayat Thabroni dari Khalid bin Subai’ ada tambahan:

” فَإِنْ رَأَيْت خَلِيفَة فَالْزَمْهُ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرك ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ خَلِيفَة فَالْهَرَب ” .

“Apabila kamu melihat khalifah, maka ikutilah, meskipun dia memukul pundakmu. Lalu kalau tidak ada khalifah, maka larilah”.

Kedelapan, Aku bertanya: “Lalu apabila mereka tidak memiliki Jama’ah dan tidak pula memiliki Imam?”. Beliau bersabda: “Tinggalkanlah semua firqoh-firqoh (kelompok yang menyeru ke pintu-pintu Jahannam) itu, meskipun kamu harus menggigit (memakan) akar pohon, sampai ajal menjemputmu dan kamu tetap seperti itu!”.

Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “meskipun kamu harus menggigit (memakan) akar pohon”. Yakni meskipun meninggalkan semua firqah itu dengan menggigit akar pohon, maka kamu jangan berpaling darinya. Dalam riwayat Ibnu Majah dari Abdurrohman bin Qurth dari Hudzaifah, Nabi SAW bersabda:

” فَلَأَنْ تَمُوت وَأَنْتَ عَاضّ عَلَى جِذْل خَيْر لَك مِنْ أَنْ تَتَّبِع أَحَدًا مِنْهُمْ ”

“Sesungguhnya apabila kamu mati dalam kondisi menggigit pohon, itu lebih baik bagimu daripada mengikuti salah seorang dari mereka (para penyeru ke pintu-pintu Jahannam)”.

Ini adalah kinayah (metonimi) dari mengikuti Jama’ah kaum Muslim dan taat kepada para penguasanya, meskipun mereka melakukan maksiat.

MAKNA HADITS 

Di bawah adalah berbagi pernyataan ulama mengenai makna hadits, terkait urutan kronologi hadits kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan:

قَالَ الْبَيْضَاوِيّ : الْمَعْنَى إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي الْأَرْض خَلِيفَة فَعَلَيْك بِالْعُزْلَةِ وَالصَّبْر عَلَى تَحَمُّل شِدَّة الزَّمَان ، وَعَضّ أَصْل الشَّجَرَة كِنَايَة عَنْ مُكَابَدَة الْمَشَقَّة كَقَوْلِهِمْ فُلَان يَعَضّ الْحِجَارَة مِنْ شِدَّة الْأَلَم ، أَوْ الْمُرَاد اللُّزُوم كَقَوْلِهِ فِي الْحَدِيث الْآخَر ” عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ” وَيُؤَيِّد الْأَوَّل قَوْله فِي الْحَدِيث الْآخَر ” فَإِنْ مُتّ وَأَنْتَ عَاضّ عَلَى جِذْل خَيْر لَك مِنْ أَنْ تَتَّبِع أَحَدًا مِنْهُمْ ”

Al-Baidhowi berkata: “Makna hadits, ketika di dunia tidak ada khalifah, maka kamu harus uzlah (meninggalkan semua kelompok yang menyeru ke pintu-pintu Jahannam) dan bersabar memikul kesulitan zaman. Sedang menggigit pangkal pohon adalah kinayah dari memikul kesulitan, seperti ungkapan orang Arab, si pulan menggigit batu, ketika ia menahan sakit. Atau yang dimaksud adalah mengikuti Jama’ah kaum Muslim dan imamnya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits lain, “’Adhdhuu ‘alaihaa bin nawaajidz” (gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham). Dan termasuk mengokohkan makna pertama, adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang lain, “Sesungguhnya apabila kamu mati dalam kondisi menggigit pohon, adalah lebih baik bagimu daripada mengikuti salah seorang dari mereka (para penyeru ke pintu-pintu Jahannam)”. (Ibnu Hajar, Fath al-Bari, 20/89).

وَقَالَ اِبْن بَطَّال : فِيهِ حُجَّة لِجَمَاعَةِ الْفُقَهَاء فِي وُجُوب لُزُوم جَمَاعَة الْمُسْلِمِينَ وَتَرْك الْخُرُوج عَلَى أَئِمَّة الْجَوْر .

Ibnu Baththol berkata: “Hadits itu menjadi hujah bagi Jama’ah fuqoha atas wajibnya mengikuti Jama’ah kaum Muslim dan larangan memberontak terhadap para imam yang zalim”. (ibid).

قَالَ الطَّبَرِيُّ : اُخْتُلِفَ فِي هَذَا الْأَمْر وَفِي الْجَمَاعَة ، فَقَالَ قَوْم : هُوَ لِلْوُجُوبِ وَالْجَمَاعَة السَّوَاد الْأَعْظَم ، ثُمَّ سَاقَ عَنْ مُحَمَّد بْن سِيرِينَ عَنْ أَبِي مَسْعُود أَنَّهُ وَصَّى مَنْ سَأَلَهُ لَمَّا قُتِلَ عُثْمَان ” عَلَيْك بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللَّه لَمْ يَكُنْ لِيَجْمَعَ أُمَّة مُحَمَّد عَلَى ضَلَالَة ” . وَقَالَ قَوْم : الْمُرَاد بِالْجَمَاعَةِ الصَّحَابَة دُونَ مَنْ بَعْدَهُمْ ، وَقَالَ قَوْم : الْمُرَاد بِهِمْ أَهْل الْعِلْم لِأَنَّ اللَّه جَعَلَهُمْ حُجَّة عَلَى الْخَلْق وَالنَّاس تَبَع لَهُمْ فِي أَمْر الدِّين .

Ath-Thobari berkata: “Terdapat perselisihan mengenai perintah mengikuti Jama’ah dan mengenai Jama’ah. Ada kelompok berkata: “Perintah itu adalah perintah wajib, sedang Jama’ahnya adalah Sawad A’zhom (golongan terbesar). Kemudian mereka mendatangkan hadits dari Muhammad bin Sirin dari Abu Mas’ud, bahwa ia wasiat kepada orang yang menanyainya ketika terbunuhnya Utsman, “Ikutilah Jama’ah, karena Allah tidak mengumpulkan umat Muhammad atas kesesatan”. Ada kelompok lain berkata: “Yang dimaksud dengan Jama’ah adalah Jama’ah Sahabat, bukan orang-orang setelah Sahabat”. Dan ada kelompok lain berkata: “Yang dimaksud dengan Jama’ah adalah ahlul ilmi (ulama), karena Alloh menjadikan mereka sebagai hujah atas makhluk(Nya), sedangkan manusia mengikuti mereka dalam urusan agama”. (ibid).

قَالَ الطَّبَرِيُّ : وَالصَّوَاب أَنَّ الْمُرَاد مِنْ الْخَبَر لُزُوم الْجَمَاعَة الَّذِينَ فِي طَاعَة مَنْ اِجْتَمَعُوا عَلَى تَأْمِيره ، فَمَنْ نَكَثَ بَيْعَتَهُ خَرَجَ عَنْ الْجَمَاعَة ، قَالَ : وَفِي الْحَدِيث أَنَّهُ مَتَى لَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ إِمَام فَافْتَرَقَ النَّاس أَحْزَابًا فَلَا يَتَّبِع أَحَدًا فِي الْفُرْقَة وَيَعْتَزِل الْجَمِيع إِنْ اِسْتَطَاعَ ذَلِكَ خَشْيَةَ مِنْ الْوُقُوع فِي الشَّرّ .

Ath-Thobari berkata: “Yang benar, bahwa yang dimaksud oleh hadits, adalah mengikuti Jama’ah yang taat kepada orang yang mereka telah sepakat menjadikannya sebagai amir (khalifah). Dan barang siapa yang merusak bai’atnya, maka ia telah keluar dari Jama’ah”. Ath-Thobari berkata: “Pada hadits, bahwa ketika manusia tidak memiliki imam tunggal, lalu mereka terpecah-belah menjadi beberapa partai, maka janganlah mengikuti seorangpun dalam perpecahan, dan jauhilah semuanya, apabila mampu, karena takut terjerumus dalam keburukan”. (ibid).

Syiakh Taqiyyuddin an-Nabhani berkata:

فإن هذا الحديث صريح بأن الرسول يأمر المسلم بأن يَلزم جماعة المسلمين وإن يَلزم إمامهم ، ويترك الدعاة الذين هم على أبواب جهنم . فسأله السائل في حالة أن لا يكون للمسلمين إمام ولا لهم جماعة ، ماذا يصنع بالنسبة للدعاة الذين على أبواب جهنم ، فحينئذ أمره الرسول أن يعتزل هذه الفرق ، لا أن يعتزل المسلمين ولا أن يقعد عن إقامة إمام . فأمْره صريح (فاعتزِل تلك الفرق كلها) ، وبالَغ في وصف اعتزاله لتلك الفِرق إلى درجة أنه ولو بلغ اعتزاله إلى حد أن يعض على أصل شجرة حتى يدركه الموت وهو على ترك تلك الفِرق التي على أبواب جهنم ، ومعناه تمسَّك بدينك وبالبعد عن الدعاة المضلين الذين على أبواب جهنم .

“Hadits ini sangat jelas, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh seorang Muslim agar terikat dengan Jama’ah dan imam kaum Muslim, dan meninggalkan para penyeru yang berada di pintu-pintu Jahannam. Lalu seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika kaum Muslim tidak memiliki imam dan Jama’ah, apa yang ia kerjakan sehubungan dengan para penyeru yang ada di pintu-pintu Jahannam? Ketika itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya agar menjauhi semua kelompok tersebut, tidak menyuruh menjauhi kaum Muslim, dan tidak menyuruh berdiam diri dari menegakkan imam. Perintahnya itu sangat jelas, “Jauhilah semua firqah (kelompok) itu”, dan sangat kuat menyifati menjauhi kelompok-kelompok tersebut, meskipun sampai pada batas menggigit pangkal pohon sampai ajal menjemputnya dalam kondisi menjauhi kelompok-kelompok yang ada di pintu-pintu Jahannam. Arti hadits itu, “Berpeganglah dengan agamamu, dan menjauhlah dari para penyeru yang menyesatkan yang berada di pintu-pintu Jahanam!”.  (Taqiyyuddin an-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz 2, hal. 13-14).

MAKNA HADITS SESUAI KONDISI KEKINIAN 

Kesimpulan dari rentetan empat kronologi hadits terakhir di atas, bahwasannya akan ada para penyeru ke pintu-pintu Jahannam, dimana siapa saja yang menerima seruan mereka, maka mereka akan melemparkannya ke Jahannam. Kulit mereka sama dengan kulit kita, dan mereka juga berbicara dengan bahasa kita. Dalam kondisi ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada seorang Muslim agar mengikuti Jama’ah kaum Muslim serta Imamnya. Dan ketika tidak ada Jama’ah dan tidak pula ada Imamnya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang Muslim agar meninggalkan semua firqoh (kelompok) yang menyeru ke pintu-pintu Jahannam itu, meskipun ia harus menggigit (memakan) akar pohon, sampai ajal menjemputnya dalam kondisi seperti itu.

Dan dengan menelaah delapan rentetan kronologi hadits beserta pernyataan ulama terkait maksud satu persatunya, maka saya berasumsi kuat, bahwa hadits Hudzaifah ini adalah hadits terkait urusan politik, terkait sistem pemerintahan, terkait petunjuk dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sistem pemerintahan, dan terkait fitnah, bid’ah, dan kesesatan dalam sistem pemerintahan. Jadi para penyeru yang berada di pintu-pintu neraka Jahannam adalah para penguasa, para politikus, dan para ulama salathin atau ulama suu’ yang bekerja untuk mengokohkan sistem pemerintahan yang bid’ah, yang sesat dan yang menjadi fitnah terhadap Islam dan kaum Muslim. Yaitu sistem pemerintahan theokrasi (kerajaan) seperti Arab Saudi, komunis-sosialis-marxis dan demokrasi-kapitalis-sekular. Sedangkan hakekat sistem demokrasi Pancasila adalah gabungan dari dua sistem terakhir. Ini bisa dilihat dari lebih dominannya pemikiran sekular dan sosialis yang melindungi dan menjaga Pancasila. Para propagandis sekular dan sosialis juga saling melengkapi dalam menolak masuknya ideologi Islam ke wilayah NKRI untuk bersaing dengan ideologi Pancasila. Asumsi ini dikokohkan oleh pernyataan ulama terkait hadits Hudzaifah sebagai berikut:

ألا ترى أنه صلى الله عليه وسلم وصف أئمة زمان الشر فقال:  « دعاة على أبواب جهنم من أجابهم إليها قذفوه فيها »  فوصفهم بالجور والباطل والخلاف لسنته؛ لأنهم لا يكونون دُعاةً على أبواب جهنم إلا وهم على ضلال.

“Bukankah anda melihat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati para imam firqah di zaman yang buruk, beliau bersabda: “Orang-orang yang menyeru di pintu-pintu Jahannam, siapa saja orang yang menerima seruan mereka, maka mereka melemparkannya ke Jahannam”. Nabi menyifati mereka dengan zalim, batil, dan menyalahi sunnahnya, karena mereka tidak akan menjadi para penyeru di pintu-pintu Jahannam, kecuali ketika mereka berada di atas kesesatan. (Syarh Ibnu Baththal, 19/39).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menentukan siapa para imam firqah itu dan berapa jumlahnya, di mana tempat mereka dan pada tahun berapa itu terjadi. Akan tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menjelaskan sifat yang bisa diterapkan kepada setiap imam (pemimpin) yang menyeru kaum Muslim ke pintu-pintu Jahannam, yaitu zalim, batil, meninggalkan sunnah, bid’ah dan sesat, karena sifat-sifat inilah yang bisa menjerumuskan kaum Muslim ke neraka Jahannam. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menentukan dua kondisi yang menyertainya, yaitu kondisi ketika adanya Jama’ah kaum Muslim beserta Imamnya, dan kondisi ketika tiadanya Jama’ah kaum Muslim beserta Imamnya. Kondisi pertama terjadi ketika kaum Muslim masih memiliki seorang khalifah, sedang kondisi kedua adalah ketika kaum Muslim tidak lagi memiliki seorang khalifah seperti saat ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan dua solusi terkait dua kondisi itu, yaitu mengikuti Jama’ah kaum Muslim serta imamnya, dan meninggalkan semua firqah serta imamnya yang menyeru di pintu-pintu Jahannam.

Jadi sifat, kondisi dan solusi yang telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu bisa berlaku sepanjang zaman, selagi masih ada kaum Muslim, karena ketakwaan, amal shaleh dan akhlak setiap Muslim itu dituntut sepanjang zaman. Dalam hal ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عن أبي ذر و معاذ بن جبل رضي الله عنهما ، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ” اتق الله حيثما كنت ، وأتبع السيئة الحسنة تمحها ، وخالق الناس بخلق حسن ” رواه الترمذي وقال حديث حسن صحيح .

“Dari Abu Dzarr dan Mu’adz bin Jabal ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Takwalah kepada Alloh di manapun kamu berada, hapus dan gantilah keburukan dengan kebaikan, dan kontaklah manusia dengan khuluq (akhlak) yang baik”. HR Tirmidzi dan beliau berkata: Hadits Hasan Shahih. (Syarh al-Arba’in al-Nawawi, 1/18).

Hadits di atas menuntut tiga perkara dari setiap muslim: Pertama, agar bertakwa kepada Alloh di manapun ia berada, yakni di tempat dan zaman manapun ia berada. Ini berarti ketakwaan setiap muslim dituntut sepanjang zaman. Kedua, agar menghapus keburukan dan menggantikannya dengan kebaikan. Ketiga, agar berinteraksi dengan manusia dengan khuluq (akhlak) yang baik. Sedang khuluq yang baik, adalah seperti kata Aisyah ra:

وَقَالَتْ عَائِشَةُ رضي الله عنها: كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ ، وَمَنْ تَخَلَّقَ بِأَوَامِرِ الْقُرْآنِ أَوْ نَوَاهِيهِ كَانَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا .

Dan Aisyah ra berkata: “Khuluqnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Alqur’an. Dan siapa saja yang berkhuluq dengan perintah-perintah Alqur’an atau dengan larangan-larangannya, maka ia adalah manusia yang paling baik khuluqnya”. (Lihat: al-Muntaqa’ Syarh al-Muwatha’, 4/292).

عن عَائِشَة رضي الله عنها قالت: ” كَانَ خُلُقه الْقُرْآن ، يَغْضَب لِغَضَبِهِ وَيَرْضَى لِرِضَاهُ ” .

Dan Aisyah berkata: “Khuluqnya Nabi adalah Alqur’an, beliau marah karena marahnya Alqur’an dan senang karena senangnya Alqur’an”. HR Muslim. (Lihat: Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/367).

Jadi ketakwaan setiap muslim kepada Alloh itu harus dilanjutkan dengan menghapus keburukan dan menggantinya dengan kebaikan, dan menjadikan Alqur’an sebagai standar final bagi keburukan dan kebaikan, juga standar bagi interaksi dengan seluruh manusia. Wallahu a’lam bis-Shawab

2 responses to “ULAMA WAHABI MEMAKAI HADITS POLITIK SEBAGAI HUJJAH LARANGAN ISTIGHOTSAH

Tinggalkan komentar